Jumat, Oktober 10, 2008

Kupat Sambal Kelapa dan Doa Tolak Bala




SANTAP KUPAT: Masyarakat Kelurahan Ujungbatu, Jepara menyantap kupat sambal kelapa di Mushala Alfatah, Rabu (8/10). Kegiatan itu sebagai bentuk tradisi yang tak pernah luntur.

SM/Muhammadun Sanomae




DI tengah keramaian sepanjang kampung pesisir di Jepara pada kegiatan Syawalan, masih terpelihara tradisi menyantap kupat bersama di mushala dan masjid sepanjang pantai.
Setidaknya itu terlihat di kampung nelayan di Kelurahan Jobokuto dan Ujungbatu. Menjelang terbit matahari, mereka mulai berkumpul di tempat ibadah.
Menelusuri jalanan dan gang-gang kecil di dua kampung nelayan itu setelah subuh, yang terdengar adalah semarak bunyi lantunan shalawat Nabi.
Rata-rata dapur rumah warga di sepanjang pinggir Kali Wiso mengepul. Mereka masih memasak sayur opor pendamping santapan kupat.
Hiruk pikuk lebih terlihat lagi beberapa waktu kemudian dengan lalu-lalang sebagian mereka yang saling mengunjungi tetangga dengan membawa kupat dan lepet lengkap dengan sayur opor.
Di Mushala Alfatah Kelurahan Ujungbatu, gema suara tahlil terdengar. Puluhan orang berkumpul di serambi mushala itu, mengikuti suara pemimpin doa yang melafalkan bacaan tahlil.
Ada anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua baik laki-laki maupun perempuan. Di tengah-tengah mereka, ragam masakan pendamping kupat lepet menghias lantai.
Begitu doa tahlil selesai, mereka langsung mengepung kupat lepet dan makan bersama. Yang berbeda, tampilan kupat tersaji menggugah selera. Dalam satu wadah masing-masing kupat dibelah dua. Di dalam belahan itu diisi dengan sambal kelapa.
Menantang Lidah
Meski menyantap tanpa menggunakan sayur, kupat itu sudah terasa gurih dan pedas. Selain sambal kelapa, isian belahan juga berupa sambal goreng tahu. Karena disajikan begitu banyak, tampilan itu makin menantang lidah.
Tak hanya itu, sayur pendamping juga beragam isinya meski rata-rata dalam bentuk opor. Sebagian berisi daging ayam yang masih membalut tulang namun banyak juga yang menggunakan kimo. Kimo adalah sejenis kerang laut dengan ukuran lebih besar. Dibanding kerang laut yang biasa dijual di pedagang kaki lima, kimo lebih alot dagingnya.
Namun dengan bumbu opor, cita rasa kimo menjadi spesial. Dalam waktu sekejap, masakan khas Pesta Syawalan itu pun ludes.
Bukhori (35), warga, menuturkan, doa dipanjatkan sebagai bentuk permohonan kepada Sang Pencipta untuk menghindarkan marabahaya dari mereka.
''Saya menyebutnya, tradisi ini sebagai doa tolak bala,'' tutur dia.
Sementara itu H Abu Ashari (55), tokoh masyarakat di kampung itu, mengemukakan, tradisi doa bersama dengan menu hidangan kupat lepet dan sayur opor itu berlangsung turun-temurun.
''Seingat saya, sejak saya masih kecil tidak banyak yang berubah dari tradisi ini,'' ujarnya.
Tradisi itu disebut sebagai hal positif karena berkirim doa kepada para leluhur, memohon keselamatan, dan bisa saling bersedekah dengan makan bersama. (Muhammadun Sanomae)

Sumber info: Suara Merdeka, Kamis, 9 Oktober 2008.

Tidak ada komentar: