Senin, November 03, 2008

Bermain Rakit sambil Menunggu Ikan Bakar







Naik rakit







Naik rakit







Mandi di laut







Membakar ikan







BANYAK ide-ide kreatif muncul setelah beberapa kali saya bersama keluarga sering berkunjung ke Pantai Bandengan. Kami sering melantai menyusuri Pantai Bandengan dari arah barat ke timur, kemudian belok ke arah utara. Cukup jauh jarak yang kami tempuh, yakni sekitar 700 meter, dengan bertelanjang kaki. Semakin ke utara, memang semakin sepi pengunjung, karena semakin jauh dari lokasi wisata yang dikelola Dinas Pariwisata Kabupaten Jepara itu. Namun justru di sinilah, kami menemukan ide-ide kreatif yang bisa kami lakukan manakala suatu saat bisa berkunjung lagi ke Pantai Bandengan.
Di sinilah kami sering melihat para nelayan berlabuh dan menambatkan perahunya setelah mencari ikan di tengah laut lepas. Mereka membongkar dan menurunkan ikan hasil tangkapannya ke darat. Para bakul sudah siap mengadang mereka untuk membeli ikan-ikan tersebut.
Pada sudut lain, kami juga melihat beberapa rakit, yang tampaknya sudah tidak pernah dipakai lagi, di bibir pantai. Rakit itu terbuat dari tiga kayu gelondongan dengan diameter sekitar 30 cm dan panjang antara empat hingga lima meter.
Dari apa yang kami lihat itu telah menggoda kami untuk bisa membuat aktivitas yang lebih menarik lagi. Ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan yang ditawarkan dengan harga murah menggoda kami untuk membeli dan membakarnya. Dalam benak kami, alangkah asyiknya manakala ikan-ikan itu dimasak dan dibakar di tepi pantai, sembari bermain rakit. Namun godaan itu tak bisa kami lakukan saat itu juga, karena kami belum ada periapan.
Ide itu menjadi agenda kami manakala suatu saat bisa berkunjung lagi ke Pantai Bandengan.
Itulah sebabnya, pada saat liburan sekolah beberapa waktu lalu, kami mengagendakan untuk berlibur ke rumah nenek di Jepara, agar bisa puas bermain di Pantai Bandengan.
Layaknya sebuah organisasi, suatu kegiatan akan berjalan baik manakala dipersiapkan secara matang, dengan penggungjawab yang jelas. Untuk itulah, kami membentuk panitia yang melibatkan semua anggota keluarga. Papa menjadi ketua sekaligus merangkap sebagai seksi dokumentasi. Mama menjadi seksi konsumsi, Mas Isal menjadi seksi perlengkapan rakit, aku sendiri kebagian seksi lain-lain, sedangkan adikku, Bela, menjadi seksi perlengkapan renang. Setiap anggota harus menyiapkan dan membawa perlengkapan sesuai tugas masing-masing.
Pada saatnya tiba, kami berangkat dari rumah nenek. Sebagai seksi dikumentasi, papa tak lupa membawa kamera, Mas Isal membawa tiga bilah kayu dan kain untuk dibuat layar, serta beberapa meter tali plastik. Dik Bela membawa pakaian renang untuk kami dan pelampung, semantara Mama membawa kompor minyak, wajan, minyak goreng, pisau, korek api, bumbu dapur, dan kelengkapan lainnya yang digunakan untuk memasak. Sementara aku membawa peralatan lainnya yang dibutuhkan, seperti tikar.

* * *

WAKTU masih pagi saat kami tiba di pantai. Kami menunggu para nelayan yang pulang dari melaut untuk membeli ikan. Setelah memperoleh ikan, Mama langsung memasaknya. Sebelum dibakar dengan diolesi kecap, ikan-ikan itu terlebih dahulu digoreng. Tak perlu susah cari kayu atau arang untuk membakar ikan itu, namun cukup dengan memanfaatkan daun-daun kering dan ranting-ranting cemara yang ada di tepi pantai.
Sembari menunggu Mama memasak ikan bakar, saya, Mas Isal, Dik Bela dan Papa bersama-sama mencari rakit, kemudian meluncurkannya ke dalam air. Dengan meniru para nelayan, kami mempraktikkan teori gaya yang saya pelajari di sekolah dalam mendorong rakit itu ke laut. Sebenarnya rakit itu mempunyai bobot yang cukup berat. Paling tidak dibutuhkan 6 orang dewasa untuk mengangkat rakit tersebut. Namun rakit itu bisa kami luncurkan ke air dengan teknik menggelindingkannya di atas dua gelondong kayu. Tak ada kesulitan, karena posisi rakit di atas bibir panti dan tinggal mendorongnya turun. Yang susah adalah manakala mengembalikannya nanti, sangat berat, karena harus mendorong ke atas.
Saya dan Dik Bela membantu Papa dan Mas Isal untuk memasang layar di atas rakit tersebut. Dalam benak saya, layar bisa digunakan sebagai alternatif bagi nelayan dalam menjalankan perahunya di saat harga BBM naik. Ini seperti kembali pada zaman dahulu, di mana kapal-kapal besar pun memanfaatkan tenaga angin dengan menggunakan layar. Saya ikut prihatin, di saat pemerintah menaikkan harga BBM, banyak nelayan terpaksa tidak melaut, karena kapal dan perahu mereka yang bertenaga mesin tidak bisa dioperasikan lagi akibat ketidakmampuan mereka dalam membeli bensin atupun solar.
Apakah tak terlintas pada benak mereka untuk kembali memanfaatkan tenaga angin (dengan layar) untuk keperluan melaut, dengan memanfaatkan perubahan arus angin, yakni angin gunung dan angin laut? Di saat angin berhembus dari arah gunung ke laut, para nelayan bisa berangkat melaut, dan di saat angin berhembus dari laut ke gunung, maka saat itulah nelayan bisa kembali mendarat.

* * *

PAPA dan Mas Isal telah selesai memasang layar, giliran berikutnya adalah bagaimana mengatur posisi layar agar rakit itu bisa melaju sesuai yang kami kehendaki, serta di sisi mana kami harus mendayung. Papa terus mencoba-coba posisi layar dengan arah laju rakit. Uji coba ini penting, agar kami tidak melaju ke tengah lautan lepas.
Sayang, rakit itu hanya bisa memuat beban untuk dua orang saja. Lebih dari itu, rakit oleng, bahkan cenderung tenggelam. Jadi kami terpaksa naik secara bergantian. Dari coba-coba itu, perahu berhasil melaju hanya mengandalkan kekuatan angin yang menerpa layar, tanpa harus kami mengayuhkan dayung.
Banyak manfaat yang dapat kami petik dari acara berlibur kali ini. Secara tidak langsung, saya mempraktikkan terori-teori yang saya pelajari di bangku sekolah dalam aktivitas yang menyenangkan ini.
Seperti pemanfatan teori gaya dalam mendorong rakit, pemanfaatan tenaga angin di saat dunia sedang dihadapkan pada krisis bahan bakar minyak, dan yang tak kalah pentingnya adalah latihan berorganisasi, membetuk tim dalam memprogram dan melaksanakan aktivitas yang memang membutuhkan kerja kelompok.
Setelah cukup puas bermain rakit, Mama memanggil kami, pertanda bahwa ikan bakar sudah siap untuk disantap. Akhirnya kami makan bersama dengan lahapnya. Apalagi dengan sambal terasinya. Em..., sedapnya….
Bagi saya, inilah liburan yang yang betul-betul mengasyikkan, sekaligus mendidik, meskipun tidak harus mengeluarkan banyak biaya. (Ima Nirmala Yanti)

Tidak ada komentar: