Selasa, Mei 06, 2008

Kemandekan Ekonomi Keluarga Pesisir





PAGI itu Musipah mondar-mandir mencari tumpangan untuk bisa sampai ke salah satu kerabat di ujung desa, sekitar 800 meter dari rumah bambunya di Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Jepara.
Wanita berusia 49 tahun itu membawa dua putrinya, Hera dan Satin. Hera belum bersekolah sedangkan Satin kelas II SD.
''Anak saya lapar, mau makan ke rumah saudara,'' tutur Musipah.
Tidak biasanya Miah melakukan itu. Namun, pagi itu dia memang telah kehabisan beras di rumah. Setelah subuh, sebenarnya Hera dan Satin telah dibelikan sarapan ibunya, dua bungkus nasi. Satu bungkus Rp 500.
Mungkin kurang kenyang karena satu bungkus hanya berisi setengah centong nasi dengan lauk tiga iris tahu berukuran kecil dan kuah seadanya.
Sudah hampir setengah tahun Musipah tak lagi bisa menghasilkan uang. Biasanya dia menjadi buruh panggul garam di tambak. Tiap memanggul satu tombong garam dengan isi 35 kg ke gudang di pinggir jalan, dia mendapatkan imbalan Rp 500.
Pekerjaan itu kini terhenti karena tambak garam belum berproduksi menyusul air laut yang pasang sepanjang hari dan menenggelamkan ratusan hektare areal tambak.
Suaminya, Miskan, hanya buruh nelayan. Tak memiliki perahu sendiri dan tidak selalu bisa berangkat karena menunggu panggilan juragan. Biasa, kendala nelayan kebanyakan, seperti dia adalah sulitnya mendapatkan bahan bakar.
Harga yang terus naik tak diimbangi dengan hasil tangkapan ikan yang memuaskan. Miskan mendirikan bagang, alat tangkap ikan di Kali Serang dekat rumahnya. Jika menggunakan lampu petromaks berbahan bakar minyak, untuk penerangan dia butuh setidaknya Rp 10.000.
Daripada bengkak biaya, dia memilih menggunakan listrik 15 watt yang menurutnya lebih efisien. Maklum, tak banyak hasilnya.
''Tidak tidur semalam paling dapat Rp 15.000,'' tutur Miskan.
Jelas susah memutar uang sebesar itu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pasangan itu memiliki anak lima. Dua di antaranya bersekolah di SD.
Hanya untuk beli beras, dia butuh paling tidak 1,5 kg sehari. Sisanya untuk bekal sekolah anak-anaknya. Kalau pendapatannya tidak ingin berkurang, dia harus rela tidak mengambil ikan hasil tangkapan.
Pilihannya hanya lauk sambal esek dan kadang tempe gembus. Sambal esek dibikin dari cabai mentah dan terasi lalu dilembutkan dengan garam.
''Nek sega dipangan anget-anget, sambel isa ngentekke sega akeh (kalau disantap dalam kondisi nasi hangat, makan pakai sambal itu bisa menghabiskan nasi banyak),'' tuturnya.

17 Tahun
Begitulah keluarga Miskan bertahan bertahun-tahun. Sudah 17 tahun dia belum menggati dinding bambu rumahnya yang sempit. Karena sempit, mau memelihara ternak pun tak ada tempatnya. Untuk ayam sekalipun.
Tiga tahun lalu dia mendapatkan pinjaman dari desa Rp 250.000. Sampai sekarang cicilannya juga belum lunas. Pinjaman dari rentenir pun terpaksa menjadi andalan. Jika dipinjami Rp 100.000, dia hanrus membayar Rp 5.000/hari selama 25 hari.
''Sedianya untuk kulakan ikan tapi di tengah jalan sudah habis untuk beli beras,'' lanjut Miskan.
Miskan berkisah, tidak ada bayangan pekerjaan lain sementara ini dan merasakan ekonominya benar-benar mandek.
Dullah (50) yang rumahnya di ujung Kali Serang, bahkan memiliki anak enam anak dan lima di antaranya sekolah. Sebagai nelayan kecil, nasibnya tak jauh beda dari Miskan.
''Anak saya sering tidak bersekolah. Anak saya mau sekolah kalau ada uang saku. Kalau saya tidak melaut, mana punya uang. Buat makan saja susah,'' tuturnya.
Sudah lima hari ini dia tak berangkat kerja karena prediksinya tidak akan mendapatkan untung lantaran habis untuk membeli perbekalan melaut.
Miah (47), istrinya tidak bekerja. Dalam tradisi di kampungnya, tetangga yang memiliki uang lebih meminjami keluarga yang kehabisan. Membayarnya ketika mendapatkan ikan saat melaut.
''Kalau tidak utang-piutang, sekarang tidak bisa makan,'' tuturnya.
Dua keluarga itu, hanya potret sebagian. Masih banyak tetangga keduanya dan kebanyakan kaum nelayan yang bernasib serupa.
Rencana kenaikan kembali bahan bakar minyak, sepertinya akan membuat beban hidup mereka makin berat. Uang pecahan ratusan rupiah, di mata mereka sedemikian berharga. (Muhammadun Sanomae-69)

Kepsen foto:

KAMPUNG NELAYAN: Seorang ibu yang tinggal di kampung nelayan Desa Kedungmalang Kecamatan Kedung, Jepara mendorong anaknya di dekat muara Kali Serang, Selasa (6/5). (69) SM/Muhammadun Sanomae

Sumber info: Suara Merdeka, Rabu, 7 Mei 2008

Tidak ada komentar: