Senin, April 21, 2008

Menyangga Tiang yang Mulai Goyah

WACANA


Oleh Hadi Priyanto


SAAT terjadi booming tahun 1998 dan industri kayu olahan menjadi tiang utama penyangga PDRB Jepara dengan share sebesar 30,07 persen, di sebuah media lokal saya membuat tulisan berjudul ‘’Mebel Ukir Pascapenjarahan’’.

Dalam tulisan ini saya mengingatkan: kalau tidak hati-hati, sokoguru perekonomian masyarakat Jepara itu bisa goyah karena kegagalan mengelola industri kayu olahan, termasuk garden furniture. Banyak pengusaha yang kembali menjadi perajin, perajin menjadi tukang, dan tukang menjadi pengangguran. Banyak gudang mebel yang kosong dan jadi sarang kelelawar, termasuk dealer mobil dan motor yang dipenuhi kendaraan tarikan kredit macet.

Beberapa alasan mendasari kekhawatiran saya saat itu, antara lain struktur harga yang keliru, persaingan tidak sehat di antara pengusaha/perajin, posisi tawar perajin lemah, minimnya kemampuan memahami keinginan pasar dan kemampuan dalam persaingan global, serta munculnya China sebagai pesaing baru. Ada persoalan pelik lain, yaitu menipisnya persediaan bahan baku pascapenjarahan di awal reformasi.

Kalau pun analisis saya tidak sepenuhnya benar, saat ini industri kayu olahan Jepara memang sedang tiarap usai mengalami pukulan bertubi-tubi. Share terhadap PDRB pun terus menurun hingga mencapai 27,44 persen (2007). Saat Perhutani memberlakukan surcharge dan deferiansi asal kayu tahun lalu, perajin kayu olahan sudah terpukul.

Surcharge adalah biaya tambahan di luar harga jual dasar (HJD) dan harga penjualan lelang (HPL), seperti surcharge penjualan dan pelayanan, dan surcharge kontrak. Sedangkan deferiansi yang terdiri atas empat tipe adalah pembedaan harga kayu berdasarkan asal kayu.

Belum lagi kenaikan bahan-bahan pendukung, termasuk BBM dan upah tenaga kerja. Padahal persaingan global menyaratkan sebuah produk memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantages), yang indikatornya terlihat dari kualitas dan harga. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan perbankan dirasa kurang familiar untuk penguatan modal para perajin.

Pukulan telak kini kembali dialami industri mebel ukir dan kayu olahan. Bukan karena makin kuatnya China dan Myanmar di pasar internasional, namun justru karena adanya SK Direksi Perum Perhutani No 010/kpts/dir/2008 yang menaikkan HJD kayu bundar jati, kayu bahan perket jati, dan kayu bakar jati yang berlaku efektif 21 Januari lalu dan diaplikasikan 4 Februari 2008.
Kenaikan juga terjadi pada HJD kayu bundar sonokeling, sonobrit, sonokembang, dan mahoni yang juga menjadi bahan baku utama industri kayu Jepara. Kenaikan untuk jati, menurut analisa Himpunan Pedagang Kayu Jepara, mencapai 20 persen lebih. Untuk mahoni sekitar 30-60 persen. Kenaikan ini terkesan dipaksakan, tanpa didahului analisa pasar atas industri perkayuan nasional yang kondisinya tidak menentu ini.

Perusahaan negara ini terlihat ingin memosisikan diri sebagai pundi-pundi uang bagi APBN, namun menjadikan perajin kecil sebagai sapi perahan. Kenaikan ini bagi perajin Jepara seperti kiamat. Meski belum ada data akurat, ditengarai ratusan perajin/pengusaha gulung tikar dan ribuan tenaga kerja menjadi pengangguran. Mereka bukan saja tak mampu membeli kayu yang kian langka dan tak terjangkau, tapi juga menanggung kerugian besar kalau memaksa terus berproduksi.

Saat tiang penyangga perekonomian Jepara mulai goyah, ada banyak PR yang harus dikerjakan bersama, untuk menyangganya. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga seluruh stakeholders yang terkait dalam bisnis yang menyerap 70.000 orang lebih tenaga kerja dan tersebar di 159 desa itu.

Regulasi Bahan Baku
Java Teak yang kini dikelola Perum Perhutani merupakan produsen kayu jati yang membuat industri kayu olahan dan mebel ukir Jepara diminati di pasar internasional. Sebagai komponen utama bahan baku, jati menjadi faktor penentu hidup dan mati industri kerajinan ini.

Ada dua pola distribusi sehingga sampai ke para perajin/pengusaha. Pertama, pembelian langsung/kontrak dari Perhutani melalui izin khusus. Biasanya dilakukan perusahaan besar yang banyak menyerap bahan baku. Pola ini tidak menggunakan mekanisme lelang, tetapi langsung ke Perhutani dengan menggunakan HJD.

Kedua, menggunakan mekanisme lelang yang diikuti pedagang besar kayu dengan HPL. Dalam pola kedua, kayu kemudian dijual ke perajin melalui pengecer. Akibatnya mata rantai distribusi makin panjang dan harga yang mesti dibayar perajin pun jauh lebih mahal dari harga lelang. Selisihnya bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 2 juta per m3.

Melihat kondisi industri kecil yang makin berat, Perhutani perlu meninjau ulang kenaikan HJD dan pola penjualan. Kenaikan 5-7 persen mungkin cukup realistis untuk kayu jati bundar, sedangkan untuk mahoni dan jenis sono 2-5 persen. Pola penjualan lelang dan kontrak juga perlu dijaga kualitas dan kuantitasnya secara berimbang.

Upaya memangkas jalur distribusi yang panjang dan menjaga ketersediaan bahan baku, melalui pembangunan Terminal Bahan Baku Kayu, patut segera direalisasi. Pembangunan terminal ini realistis, karena pemerintah pusat telah menetapkan Jateng sebagai Pusat Pengembangan Industri Mebel Nasional. Tempat ini sekaligus diharapkan berfungsi sebagai kontrol/pengendali harga dan kualitas kayu, serta menjaga transparansi harga kayu.

Penguatan Sentra/Cluster
Upaya ini bisa dilakukan melalui pembangunan jejaring di tingkat perajin dengan membangun sentra. Pada tingkat lebih luas bisa membentuk cluster. Hal ini penting dilakukan, sebab perajin kecil sering menjadi korban karena tak punya posisi tawar cukup kuat. Bukan saja oleh buyer dan broker yang gentayangan ke desa, tetapi juga oleh pengusaha lokal.

Tak banyak pengusaha yang bersedia memberi uang muka dan membayar tunai barang-barang yang dipesannya ketika sudah jadi. Kadang sampai 1-2 bulan baru dilunasi, ketika barang-barang yang dikerjakan telah dikirim ke luar negeri.

Penguatan sentra/cluster bisa memudahkan pemerintah dalam melakukan pembinaan, sekaligus membuka akses perajin kecil terhadap pasar, modal, teknologi, dan pemanfaatan keuangan publik. Selama ini, pemerintah sudah memberikan bantuan dan berbagai fasilitas kepada lembaga-lembaga profesi di bidang industri perkayuan. Namun manfaatnya tidak dapat dirasakan langsung oleh perajin.

Meski lembaga profesi mendapat fasilitas untuk mengikuti pameran, jarang ada yang mau terbuka kepada perajin berapa harga yang diperoleh dari pembeli dalam pameran yang dibiayai pemerintah. Ke depan, pameran diberikan kepada event organizer (EO) independen yang bertindak sebagai penjamin bagi produk yang ditawarkan.

Penguatan cluster juga dapat menstimulasi inovasi produk melalui eksplorasi produk-produk yang dihasilkan dan pemahaman terhadap keinginan pasar.
Kecenderungan produk yang marketable dapat dilihat di berbagai pameran tingkat dunia, atau perajin Jepara membuat desain sendiri dan menawarkannya ke pasar via pameran.

Upaya menyangga tiang yang mulai goyah memang perlu dilakukan. Kita mungkin terlalu berharap kepada Jepara Trade and Tourism Center (JTTC) yang mengemban empat fungsi: promotion center, design center, klinik HAKI, dan tourism information center. Namun JTTC masih gamang menentukan posisinya. Semoga Jepara kembali bangkit! (32)

—Hadi Priyanto, Kabag Inkom Sekretariat Daerah Kabupaten Jepara

Sumber: Suara Merdeka, 27 Februari 2008

Tidak ada komentar: